Mei lalu, seorang penjual nasi uduk asal Bekasi Jawa Barat terkaget
ketika beras yang ia masak memiliki cirri yang berbeda dari beras yang biasanya
ia gunakan untuk berdagang. Setelah diteliti, ternyata beras yang ia masak
adalah beras sintetis dan sudah diuji coba di lab, hasilnya positif mengandung
plastic
Beredarnya beras plastic atau yang dikenal dengan beras
sintetis merupakan salah satu dampak yang dihasilkan dari hilangnya batas-batas
Negara dengan lahirnya pasar bebas atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Sejak diberlakukanya MEA, Pemerintah Indonesia kerap
mendapatkan kendala dalam melindungi rakyatnya. Ketidaksiapan masyarakat
menjadi tonggak awal dari banyaknya produk-produk bahaya ke Indonesia, salah
satunya beredarnya beras sintetis.
Menurut Juru Bicara Muslimah Hizbut Tharir Indonesia (MHTI)
Iffah Ainur Rochmah bahwa pergerakan pasar bebas yang kapitalistik telah terbukti
merusak tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.
Pasar bebas yang juga berbasis pada liberalisme ekonomi tersebut
telah mendorong pelaku usaha baik yang individu maupun korporat berlomba-lomba
mencari keuntungan yang besar dengan cara apapun. “Tanpa memperdulikan bahaya
yang dihadapi public,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa peran Pemerintah dalam melindungi hak
konsumen masyarakat mutlak diperlukan. Kepekaan Pemerintah dengan kondisi saat
ini harus ditingkatkan sebelum lahirnya kasus serupa dan jatuhnya korban.
Salah satunya dengan melakukan inspeksi ke pasar-pasar
tradisional maupun modern yang sifatnya mendadak dan kontinu. Jika benar
ditemukan pedagang nakal yang menjual beras berbahaya tersebut, Pemerintah
harus tegas memberikan sanksi berat.
“Pemerintah jangan sampai lalai dalam mengawasi pasar,”
tandasnya.
Selain itu, Iffah juga mengatakan banyaknya masyarakat
khususnya ekonomi rendah yang tergiur beras dengan harga murah. Sehingga banyak
dari mereka yang tidak memperhatikan kualitas dari bhan makanan yang mereka
beli.
Senada dengan itu, Anggota Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi
menegaskan agar Pemerintah berani bertindak terhadap para pengusaha importir
yang menyimpang. Apabila ditemukan penyimpangan maka Pemerintah berhak untuk
mencabut izin impor.
“Pemberantasnnya harus secara menyeluruh, dari hulu ke
hilir,” ungkapnya.
Sementara itu, Febrianti Ibu Rumah Tanggal yang tinggal di
Bekasi, Jawa Barat mengaku khawatir dengan beredarnya beras sintentis di tempat
tinggalnya. Ia mengatakan bahwa sejak kasus tersebut ramai diberitakan, ia
harus berhati-hati dalam memilih dan membeli produk makanan, termasuk beras.
Kekhawatirannya bertambah, ketika ia bersama suaminya
mencoba untuk mencari keberadaan penjual bubur dan nasi uduk yang bertama kali
menemukan beras sintetis tersbut. “Waktu dicari penjualnya itu sudah tidak
berjualan lagi disana,” katanya
Namun demikian, ia yakin bahwa peredaran yang sempat membuat
khawatir masyarakat Bekasi bisa segera diselesaikan baik oleh Pemerintah Daerah
Bekasi maupun Pemerintah Pusat. Pasalnya, sebagian besar masyarakat Indonesia
banyak yang tergantung terhadap beras.
Selain itu ia juga berharap, agar inspeksi yang dilakukan
Pemerintah ke pasar-pasar tidak hanya dilakukan saat berita Beras sintetis
buming di masyarakat. Bahkan menurutnya, jangan saja injspeksi beras namun
beberapa bahan pokok dan makanan lainnya jangan luput dari inspeksi tersebut.
Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia sebaiknya harus teliti
dan dapat membedakan antara bersa sintetis dengan beras asli. Demikian cirri-ciri
beras sintetis atau beras yang mengandung bahan material berbahaya, antara
lain:
1.
Beras tidak memiliki aroma padi tidak seperti
beras pada umumnya
2.
Beras berwarna bening mengkilat
3.
Beras memiliki tekstur yang sangat licin seperti
plastic
4.
Ketika dibakar beras akan meleleh dan
mengeluarkan bau plastic yang menyengat
5.
Jika direndam beras akan mengambang
6.
Beras akan sulit untuk dipatahkan dengan kuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar