Ratusan Muslim Rohingya sampai saat ini masih
berada di wilayah Aceh Timur, Indonesia. Kebanyakan dari mereka bertahan hidup
dari belas kasih masyarakat sekitar dan relawan yang peduli dengan nasib mereka
sebagai pengungsi.
Permasalahan
yang dialami Muslim Rohingya bukan saja soal solidaritas masyarakat dunia
terhadap nasib mereka, namun mengenai pengakuan status kewarganegaraan mereka
di Negara asal mereka, Myanmar.
Saat ini, Ribuan
Muslim Rohingya yang melarikan diri dari penindasan dan genosida yang dilakukan
Pemerintahan Myanmar kehilangan identitas sebagai warga Negara setelah
Pemerintah Myanmar mencabut status kewarganegaraan.
Ketua Burma
Task Force Indonesia, Adnin Armas menjelaskan bahwa Muslim Rohingya, baik yang
saat ini berada di Indonesia maupun di Negara-negara lain, sangat membutuhkan
pengakuan sebagai warganegara sebuah Negara.
Apa yang
terjadi pada mereka, menurut Direktur & Peneliti
INSISTS Jakarta tersebut adalah sebuah akibat yang ditimbulkan oleh Pemerintah Myanmar.
Pemerintahan Myanmar tidak mengakui mereka sebagai warga Negara Myanmar.
“Yang harus dilakukan adalah bergerak menyelesaikan sebab dari akibat
tersebut,” jelasnya
Adnin juga menjelaskan bahwa mayoritas Muslim Rohingya tidak bisa
membaca, sehingga saat Pemerintah Myanmar memberikan kartu identitas, mereka
menerima meskipun di kartu tersebut tertera kewarganegaraan Bangladesh, bukan
Myanmar.
Selain itu, di Myanmar Muslim Rohingya, khususnya perempuan mengalami
kejahatan seksual dari warga Myanmar yang meyoritas beragama Budha. Sementara,
anak-anak dan pemuda Muslim Rohingya mengalami penyiksaan dan diskriminasi dari
Pemerintahan Myanmar.
“Orang tua di sana tidak bisa mendapatkan pekerjaan,” tambahnya.
Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia harus melakukan
tindakan yang konkrit untuk menyelamatkan nasib dan masa depan Muslim Rohingya.
Pasalnya, masyarakat Indonesia baik Muslim maupun Non Muslim sangat menolak
penindasan.
“Hal tersebut sesuai dengan Pembukaan Undang-undang 1945,” ungkapnya
Selain itu, Ketua Harian Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)
menegaskan, bahwa Pemerintah Indonesia harus bisa memberikan tekanan terhadap
Pemrintah Myanmar, baik dari bidang ekonomi, social, budaya dan lain
sebagainnya.
Saat ini, Negara-negara Non Muslim, salah satunya Amerika Serikat telah
menunjukan sikap penolakan terhadap kebijakan Pemerintahan Myanmar yang
melakukan genosida Muslim Rohingya di Negara mereka dengan mengeluarkan
resolusi 418. Resolusi 418 tersebut menyerukan
pemerintah Myanmar untuk menghormati Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)
etnis Rohingnya.
Sementara Negara Eropa lainnya juga sudah melakukan
protes keras terhadap sikap arogansi Pemerintahan Myanmar dan akan saat ini,
mereka (Negara eropa) akan segera bersikap untuk menyelamatkan nasib Muslim
Rohingya.
“Indonesia masih belum aktiv,” tadasnya
Sementara itu, Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir
Indonesia (MHTI) Iffah Ainur Rochma mengatakan bahwa ia bersama Muslimah Hizbut
Tahri dari berbagai Negara telah menggelar acara Roundtable Discussion mengenai nasib Muslim Rohingya.
dari acara
tersebut lahir penandatangan deklarasi mengenai kesadaran semua pihak tentang
pentinganya suatu sistem Pemerintahan yang berlandaskan pada Syariah Islam.
Sehingga, apa yang terjadi pada Muslim Rohingya tidak terjadi karena hadirnya
perlindungan Negara terhadap masyarakatnya.
Ia juga
menegaskan, seluruh perwakilan Muslimah Hizbut Tahrir dari Malaysia, Australia,
Bangladesh dan Timur Tengah akan mensosialisasikan deklarasi yang telah
ditandatangani tersebut. Sehingga, masyarakat di tempat tinggal mereka
masing-masing mengetahui apa yang terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan.
Selain itu,
Iffah juga menjelaskan bahwa solusi real dari masalah yang dialami Muslim
Rohingya adalah lahirnya institusi Politik Islam yang berkomitmen pada
perlindungan dan kesejahteraan rakyatnya, yaitu Khilafah Islamiyah.
“Jika hanya
diberikan solidaritas saja itu bukan Ukhwah Islamiyah, karena Muslim satu
dengan lainnya adalah bagian yang tidak dipisahkan,” ucapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar