Selasa, 28 Januari 2014
Konflik Suriah, Satukan Oposisi
Satukan Koalisi Opisisi, Jatuhkan Assad
Presiden Suriah, Bashar al-aAssad tidak bersedia membuka dialog damai terhadap negaranya. Ingin tetap pada jabatannya, Assad melalui rezimnya terus melakukan pembantaianya tanpa perikemanusiaan.
Sudah hampir memasuki tahun ke 2, konflik bersenjata di Negara Suriah tidak kunjung meredah. Perang saudara ini telah menelan lebih dari 70 ribu korban jiwa, termasuk anak-anak, perempuan dan orang tua lanjut usia.
Kebrutalan rezim Assad terhadap rakyat Suriah terus berlanjut. Seperti yang dikutip oleh sahabatsuriah.com, Awal tahun 2013, The Kurdish Syrian Documentation Center atau Pusat Dokumentasi Kurdi Suriah berhasil menghimpun ada sedikitnya 3742 warga sipil tewas dibantai oleh pasukan rezim Assad.
Syrian Network for Human Rights (SNHR), menyebutkan sebanyak 33 anak bayi syahid. Selain itu sebanyak 297 wanita dan 62 orang warga Suriah yang sudah lanjut usia. Sebanyak 93 tewas karena disiksa.
Jumlah diatas belum termasuk korban tewas akibat pembantaian missal yang dilakukan oleh tentara rezim Assad. Menurut SNHR bahwa Presiden Bashar al Assad harus bertanggung jawab atas pembantaian ini.
“SNHR menyatakan bahwa Pimpinan Tertinggi Angkatan Bersenjata Suriah Basyar al-Assad bertanggungjawab atas semua tindakan pembunuhan, penyiksaan dan pembantaian di Suriah dan bertanggungjawab atas diturunkannya perintah pembunuhan-pembunuhan ini,” demikian pernyataan SNHR.
Sementara itu, di di Tepi Sungai Quweiq, Aleppo terdapat lebih dari seratus jasad dengan kondisi sangat mengenaskan. Kedua tangan yang terikat dan kepala yang belubang akibat tembakan senjata tajam menggambarkan kekajaman yang tidak dapat ditolerir.
“Setiap hari kami menerima informasi tentang pembunuhan, penyiksaan, pembantaian yang mengerikan, penangkap sewenang-wenangnya, penculikan, pemerkosaan serta penghancuran sistematis terhadap lingkungan, bangunan dan kota oleh tangan milisi rezim tersebut,” tulis Laporan Pusat Dokumentasi Kurdi Suriah. Arrahman.com.
Untuk mengatasi konflik berdarah yang telah berlangsung selama 22 bulan ini, Koalisi Nasional Suriah yang terdiri dari beberapa partai penolak pemerintahan Bashar al Assad dapat bersatu melawan kekejaman rezim Assad.
Koalisi Nasional Suriah sendiri baru diresmikan sebagai perwakilan resmi rakyat Suriah November lalu. Beberapa negara yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), seperti Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab (UAE) dan Oman merupakan negara-negara pertama yang mengakui Koalisi Nasional Suriah.
Selain negara-negara Teluk, beberapa Negara Barat, seperti AS dan Inggris memberikan suaranya dalam melegalkan eksistensi Koalisi Nasional Suriah sebagai perwakilan resmi rakyat Suriah.
Pengakuan legitamisi yang dilakukan AS terhadap Koalisi Nasional Suriah dikecam oleh Rusia, pasalnya negara Eropa itu merupakan sekutu terdekat Suriah yang segala kebijakannya selalu melindungi posisi Presiden Bashar al-Assad.
Para pimpinan oposisi Suriah juga menyerukan adanya dialog antara oposisi dengan pemerintah dalam menghentikan kekerasan terhadapat rakyat sipil. Bahkan Pimpinan Koalisi Nasional Suriah, Moaz al-Khatib telah menyerukan agar Presiden Assad mengirim wakilnya untuk membuka jalan negosiasi anatar dua bela pihak.
“Saya minta rezim Assad agar mengirim (Wakil Presiden) Farouq al-Sharaa, jika mereka sepakat, maka kita akan bisa duduk bersama,” kata Khatib dalam wawancara dengan al-Arabiya TV, BBC.com
Kebijakan Khatib ini menuai kritik karena telah dianggap bersedia melakukan negosiasi damai dengan pemerintah sebelum Assad mau melepaskan jabatannya sebagai Presiden Suriah.
Khotib sendiri memberikan syarat kepada pemerintah untuk dapat melakukan negosiasi damai yaitu dengan pembebaskan 160.000 tahanan, yang ditahan sejak konflik ini berlangsung, Maret 2011 lalu.
Namun demikian, Presiden Bashar al-Assad tidak menanggapi keinginan damai tersebut. Hingga saat ini, Assad melalui kaki tangannya tidak bersedia melakukan negosiasi damai, terbukti dengan kebiadaban rezimnya yang terus berlangsung hingga saat ini.
Partisipasi dunia internasional terhadap kondisi dan krisis kemanusian di Suriah terus berdatangan, tidak terkecuali dari PBB.
Konferensi Internasional Kemanusiaan untuk Suriah (Internasional Humanitarian Pledging Conference for Syiria) yang dilaksanakan di Bayan Palace, Kwait City akhirnya berhasil mengumpilkan dana bantuan sebesar 1,5 Miliar Dollar AS.
Ketua Konferensi Internasional Kemanusiaan untuk Suriah, Ban Ki Moon menambahkan bahwa jumlah yang diperoleh lebih banyak dari jumlah yang ditagetkan sebekumnya. “Hari ini kita telah menyaksikan solidaritas terbentuk,” Ujar Sekjend PBB.
Namun demikian sangat mengenaskan, ketika bantuan yang diharapkan dapar meringankan penderitaan para korban, justru tidak sampai kepada mereka.
Menurut rilis Rumah Sakit Medecins Sans Frontieres (MSF), bahwa bantuan yang dikendalikan pemerintah Suriah disalurkan secara tidak merata. Pemerintah banyak menyalurkan bentuan tersebut ke wilayah yang dikendalikan mereka.
“Daerah-daerah di bawah kendali pemerintah menerima hamper semua bantuan internasional, sementara wilayah yang dikendalikan oposisi hanya menerima sedikit bagian,” jelas Abu Zahra dari Hilal Amr Society Indonesia (HASI), Usai melakukan kunjungan ke MSF, Hidayatullah.com
Artinya bahwa bantuan internasional yang diberikan kepada pemerintah, merupakan langkah yang salah, sebab korban kebiadaban rezim Assad yang seharusnya mendapatkan hak tersebut tidak mendapatkan haknya secara penuh.
Label:
Assad,
HAM,
internasional,
Konflik,
korban,
oposisi,
pembaintaian,
rakyat sipil,
suuriah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar